Teori retorika
berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai
alat persuasi yang tersedia Aristoteles
mengklasifikasikan retorika sebagai cabang dialektika. Dialektika adalah
diskusi antara dua orang, retorika adalah satu orang kepada orang banyak.
Dialektika berfungsi untuk mencari kebenaran, retorika berusaha menunjukkan kebenaran yang telah terungkap. Dialektika menjawab pertanyaan filosofis
umum, retorika menjawab yang lebih spesifik, dan praktis. Dialektika berkaitan
dengan kepastian, retorika berujung pada kemungkinan. Aristoteles
melihat perbedaan yang terakhir sebagai bagian yang sangat penting, retorika
adalah seni menemukan cara untuk membuat kebenaran yang tampaknya lebih mungkin
untuk audiens yang tidak sepenuhnya yakin.
Bagi Aristoteles retorika adalah seni persuasi, suatu
uraian yang harus singkat, jelas, dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang
disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah
(instructive), mendorong (suggestive) dan mempertahankan (defensive). Sehingga,
dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan
petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasive yang efektif
dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia.
Pertama, pembicara harus memiliki etika (ethos)
maksudnya ia dapat menunjukkan kepada khalayak bahwa ia memiliki pengetahuan
yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat.
Kedua, pembicara harus menyentuh hati khalayak,
perasaan, emosi, harapan, kebencian, dan kasih sayang mereka (pathos) yang
kemudian oleh para ahli retorika modern disebut sebagai imbauan emosional atau
emotional appeals.
Ketiga, pembicara meyakinkan pendengar/khalayak dengan
mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Disini pendekatan yang
dipakai adalah melalui otak dari khalayak (logos).
CANONS RETORIKA
Canons retorika merupakan tuntunan atau prinsip-prinsip yang harus diikuti
oleh pembicara agar pidato persuasive dapat menjadi efektif dan untuk mengukur
kualitas pembicara. Canons retorika telah digunakan sebagai tuntunan selama
lebih dari 2000 tahun. Canons retorika tersebut yaitu :
a. Penemuan (Invention). Didefinisikan sebagai konstruksi
atau penyusunan dari suatu argument yang relevan dengan tujuan dari suatu
pidato. Dengan kata lain untuk mendapatkan hasil yang efektif pembicara membuat
gagasan utama dan kemudian dijelaskan dengan penalaran secara umum untuk
menyampaikan isi pidato tersebut. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara
berfikir dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan
logika dan bukti dalam pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat
dan persuasive. Hal yang membantu penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah
bantuan terhadap yang merujuk pada argument yang digunakan oleh pembicara. Para
pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora yang menyatakan bahwa
pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk membujuk
orang lain.
b. Pengaturan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan
pembicara untuk mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti
pendekatan yang terdiri atas tiga hal: pengantar (introduction), batang tubuh
(body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar merupakan bagian dari strategi
organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian khalayak,
menunjukkan hubungan topic dengan khalayak, dan memberikan bahasan singkat
mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi
organisasi dari pidato yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk
menyampaikan suatu pemikiran. Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari
strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan untuk merangkum poin-poin
penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah emosi di dalam
khalayak.
c. Gaya (style), merupakan canons retorika yang
mencakup penggunaan bahasa untuk menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato.
Dalam penggunaan bahasa harus menghindari glos (kata-kata yang sudah kuno dalam
pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan metafora (majas yang membantu
untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah dipahami). Penggunaan
gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide dari
pembicara diperjelas.
Menurut Cicero
sistematika retorika mencakup dua tujuan pokok yang bersifat “susio” (anjuran)
dan “dissuasion” (penolakan). Paduan dari dua sifat itu seringkali dijumpai
dalam pidato-pidato peradilan di muka senat Romawi di Roma. Pada saat itu
tujuan pidato di hadapan pengadilan adalah untuk menyadarkan public tentang
hal-hal yang menyangkut kepentingan rakyat. Perundang-undangan negara, dan
keputusan-keputusan yang akan diambil. Hal ini, menurut Cicero hanya dapat
dicapai dengan menggunakan teknik dissuasion, apabila terdapat kekeliruan atau
pelanggaran dalam hubungannya dengan undang-undang, atau suasio jika akan
mengajak masyarakat untuk mematuhi perundang-undangan dan keadilan.
Retorika gaya
Cicero meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
ü Investio
Investio berarti
mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan yang telah diperoleh disertai
bukti-bukti pada tahap ini dibahas secara singkat dengan menjurus kepada
upaya-upaya:
1.
Mendidik
2.
Membangkitkan
kepercayaan
3.
Menggerakkan
perasaan
ü Ordo Collocatio
Ordo Collocatio
berarti penyusunan pidato. Disini sang orator dituntut kecakapan mengolah
kata-kata mengenai aspek-aspek tertentu berdasarkan pilihan mana yang
terpenting, penting, kurang penting, dan tidak penting. Dalam hubungan ini
susunan pidato secara sistematis terbagi menjadi:
1.
Exordium
(pendahuluan)
2.
Narration
(pemaparan)
3.
Conformation
(peneguhan)
4.
Reputation
(pertimbangan)
5.
Peroratio
(penutup)
d. Penyampaian
(delivery), adalah
canons retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari ide-ide pembicara.
Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata, tanda
vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik.
Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi
ketegangan pembicara.
e. Ingatan
(memory) adalah
kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk menyimpan
informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat
mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya.
Mohon bantu sumber buku nya min, skripsinaufal@gmail.com
BalasHapus